Kamis, 05 Juli 2012

Kinerja Rumah Sakit Pemerintah (Aplikasi Balanced Scorecard)


1. Pendahuluan
            Organisasi nirlaba atau organisasi non profit merupakan suatu organisasi yang memiliki misi pokok untuk mendukung suatu isu publik yang tidak memiliki tujuan komersil atau mencari laba, dan jika suatu entitas menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak dibagikan kepada pihak pemilik entitas tersebut. Dalam organisasi nirlaba tidak ada kepemilikan seperti pada organisasi bisnis, karena kepemilikannya tidak dapat dijual, dialihkan, atau ditebus kembali, sehingga kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi pembagian sumber daya entitas pada saat likuiditas.
Rumah sakit sebagai organisasi nirlaba memiliki peran dalam memberikan jasa pelayanan kesehatan yang profesional dan bermutu serta terjangkau semua lapisan masyarakat, dan memberikan pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan lanjutan sesuai kelas rumah sakit dan standar yang telah ditetapkan. Sehingga, keberadaan rumah sakit merupakan ujung tombak dalam pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tidak sedikit keluhan selama ini diarahkan pada kualitas kinerja pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya sumber daya baik sumber daya finansial maupun sumber daya non finansial.
Dessler dan Gary (1994) menjelaskan bahwa keberhasilan suatu institusi ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu sumber daya manusia atau tenaga kerja dan sarana dan prasarana pendukung atau fasilitas kerja. Dari kedua faktor utama tersebut sumber daya manusia lebih penting daripada sarana dan prasarana pendukung. Secanggih dan selengkap apapun fasilitas pendukung yang dimiliki oleh suatu organisasi, tanpa adanya sumber daya yang memadai baik kualitas maupun kuantitasnya, maka organisasi tersebut tidak dapat berhasil mewujudkan visi, misi, dan tujuan organisasinya. Kualitas sumber daya manusia tersebut diukur dari kinerja karyawan (performance) atau produktifitasnya.
Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan, yaitu lingkungan eksternal dan internal (Hendrawan, 2011). Tuntutan eksternal antara lain adalah dari para stakeholder bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada kepuasan pasien. Tuntutan dari pihak internal antara lain adalah pengendalian biaya. Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu mekanisme pasar, perilaku ekonomis, sumber daya professional dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi.
Rumah sakit pemerintah yang terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut. Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung terus meningkat, dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut. Peningkatan biaya kesehatan menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk kalangan menengah ke bawah. Akibatnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu.
Kinerja rumah sakit merupakan faktor penting yang harus diperhatikan untuk menghadapi tuntutan lingkungan tersebut. Kinerja dalam suatu periode tertentu dapat dijadikan acuan untuk mengukur tingkat keberhasilan organisasi. Oleh karena itu, sistem kinerja yang sesuai dan cocok untuk organisasi sangat diperlukan agar suatu organisasi mampu bersaing dan berkembang.
Kinerja organisasi dapat diketahui melalui pengukuran kinerja organisasi. Pengukuran kinerja adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas: efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa (seberapa baik barang dan jasa diserahkan kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan), hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan dan efektifitas tindakan dalam mencapai tujuan (Robertson, 2002). Sedangkan Stout (1993) dalam Bastian (2001), mendefinisikan pengukuran/penilaian kinerja sebagai proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalan arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun suatu proses.
Menurut Mardiasmo (2009), diperlukan adanya pengukuran kinerja sektor publik untuk memenuhi tiga maksud yaitu (1) pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja dimaksudkan untuk dapat membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi sektor publik dalam pemberian pelayanan publik; (2) ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan; serta (3) ukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. Oleh pihak legislatif, ukuran kinerja digunakan untuk menentukan kelayakan biaya pelayanan (cost of service) yang dibebankan kepada masyarakat pengguna jasa publik. Masyarakat tentu tidak mau terus-menerus ditarik pungutan sementara pelayanan yang mereka terima tidak ada peningkatan kualitas dan kuantitasnya.
Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat, namun hasilnya belum optimal. Menurut Gunawan (2010), faktor yang mempengaruhi rendahnya kualitas pelayanan pemerintah adalah role ambiguity, ketidak tahuan pegawai negeri sipil mengenai apa yang menjadi harapan pimpinan akan pelayanan yang disediakan dan bagaimana cara memenuhi harapan tersebut; poor employee job fit, ketidak sesuaian antara kemampuan yang dimiliki pegawai dengan pekerjaan yang harus dilakukan; poor technology job fit, terlalu minim peralatan serta teknologi yang dipergunakan akan berakibat pelayanan yang diberikan tidak dapat sesuai dengan diharapkan; inappropriate supervisory control system, tidak adanya sistem evaluasi dan penghargaan dalam instansi pemerintah; lack of perceived control, ketidakmampuan pegawai dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam proses pemberian pelayanan yang disebabkan wewenang yang tidak mereka miliki sehingga mereka juga tidak terlatih untuk mengatasi permasalahan
yang muncul dengan lebih baik; lack of team work, tidak adanya kerjasama antara pegawai dan pimpinan organisasi dalam memberikan pelayanan akan berakibat buruk terhadap kinerja yang dihasilkan. Permasalahan juga bisa diakibatkan kurang adanya dukungan pegawai. Penyebab belum optimalnya kinerja organisasi pemerintah yang telah disebutkan diatas umumnya terjadi hampir diberbagai organisasi pemerintah termasuk rumah sakit (Gunawan, 2010).
Pemerintah daerah sebagai pemilik RSUD dan sekaligus manajemen perusahaan, setiap tahun harus mengevaluasi kinerja dan melakukan analisis yang cermat agar dapat mengetahui keberhasilan ataupun kegagalan RSUD sehingga dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk memperbaiki kekurangan–kekurangan yang ada sekaligus membuat strategi yang dapat meningkatkan keberhasilan di masa depan atau sering juga disebut dengan kinerja organisasi. Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi (Mahsun, 2007). Kata kinerja sering dipakai sebagai indikator keberhasilan. Kinerja dapat dinilai seandainya organisasi mempunyai kriteria keberhasilan yang telah dirumuskan. Kriteria keberhasilan berupa pernyataan visi dan misi organisasi yang dijabarkan kedalam tujuan, sasaran, dan program yang diharapkan akan dicapai secara ekonomis, efisien, dan efektif. Tanpa adanya visi dan misi, kinerja organisasi tidak akan dapat diketahui karena tidak ada tolok ukurnya. 
Penelitian Ferdinand (1997) dalam Prasetyono dan Nurul (2007), ditemukan bahwa terdapat tiga kriteria keberhasilan RSU yang dapat digunakan sebagai tolok ukur, (1) mampu tetap bertahan (survival), yaitu kemampuan organisasi untuk mencari alternatif untuk mempelopori bentuk pelayanan kesehatan yang profesional; (2) pertumbuhan (growth), yaitu kemampuan organisasi untuk mengembangkan usahanya bertahan dalam persaingan dan peningkatan mutu pelayanan; (3) keuntungan (profitability), yaitu kemampuan usaha organisasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan para karyawan.
Menurut Atkinson, dkk (1995), sistem penilaian kinerja sebaiknya mengandung indikator kinerja yaitu (1) memperhatikan setiap aktivitas organisasi dan menekankan pada perspektif pelanggan, (2) menilai setiap aktivitas dengan menggunakan alat ukur kinerja yang mengesahkan pelanggan, (3) memperhatikan semua aspek aktivitas kinerja secara komprehensif yang mempengaruhi pelanggan, dan (4) menyediakan informasi berupa umpan balik untuk membantu anggota organisasi mengenai permasalahan dan peluang untuk melakukan perbaikan.
Dari deskripsi di atas, penilaian kinerja pada rumah sakit sebagai organisasi nirlaba tidak hanya berfokus pada pencapaian internal organisasi saja, namun juga mencakup berbagai aspek penting yang perlu banyak mendapat perhatian bagi setiap stakeholder rumah sakit. Tujuan dari paper ini adalah untuk mereview beberapa penelitian tentang studi kinerja rumah sakit sebagai organisasi nirlaba di Indonesia.



2. Pembahasan
Pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor yang amat penting bagi sebuah perusahaan. Pengukuran tersebut, dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perusahaan. Selama ini pengukuran kinerja secara tradisional hanya menitikberatkan pada sisi keuangan. Manajer yang berhasil mencapai tingkat keuntungan yang tinggi akan dinilai berhasil dan memperoleh imbalan yang baik dari perusahaan.      
Untuk mengukur kinerja organisasi, maka diperlukan suatu sistem berbasis kinerja. Sistem pengukuran kinerja yang baik diperlukan sebagai instrumen dalam mengukur kinerja yang handal dan berkualitas. Pengukuran kinerja yang menitikberatkan pada sektor keuangan saja kurang mampu mengukur kinerja harta-harta tidak berwujud (intangible assets) dan harta-harta intelektual (sumber daya manusia) perusahaan. Selain itu pengukuran kinerja dengan cara ini juga kurang mampu bercerita banyak mengenai masa lalu perusahaan, kurang memperhatikan sektor eksternal, serta tidak mampu sepenuhnya menuntun perusahaan ke arah yang lebih baik (Gunawan, 2010).
Hal ini mendorong Kaplan dan Norton (2000) untuk merancang suatu sistem pengukuran kinerja yang lebih komprehensif yang disebut dengan Balanced Scorecard. Konsep Balanced Scorecard merupakan salah satu metode pengukuran kinerja yang berusaha untuk menyeimbangkan pengukuran aspek keuangan dengan aspek non keuangan dengan memasukkan empat aspek/perspektif di dalamnya yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, dan  perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
Saat ini banyak rumah sakit telah mengadopsi sistem kinerja yang multidimensional untuk mendukung dalam pencapaian tujuan dan misinya (Zelman dkk., 2003). Beberapa peneliti dari Michigan University telah mampu menentukan validitas, reliabilitas, dan sensitivitas dari metode Balanced Scorecard yang berorientasi pada pembandingan indikator yang digunakan rumah sakit untuk mengukur kinerjanya dibandingkan dengan kinerja para kompetitornya (Griffith dkk., 2002).
Konseptual Balanced Scorecard tidak hanya mencakup indikator kinerja rumah sakit tetapi juga untuk membantu dalam membandingkan kinerja rumah sakit. Sehingga metode BSC akan bermanfaat untuk mengidentifikasi kesempatan dalam peningkatan kinerja akibat dari adanya hasil pengukuran kinerja yang nilainya masih rendah (Chen dkk., 2006).
Menurut Pramadhany (2011), pada awalnya Balanced Scorecard dirancang untuk digunakan pada organisasi yang bersifat mencari laba, namun kemudian berkembang dan diterapkan pada organisasi nirlaba. Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap penggunaan pada organisasi laba dengan organisasi nirlaba, diantaranya: pada organisasi laba perspektif finansial adalah tujuan utama dari perspektif yang ada, sedangkan pada organisasi nirlaba perspektif konsumen merupakan tujuan utama dari perspektif yang ada. Perspektif finansial dalam organisasi laba adalah berupa finansial atau keuntungan, sedangkan dalam organisasi nirlaba perspektif finansial adalah pertanggungjawaban keuangan mengenai penggunaan sumber daya yang efektif dan efisien dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat.
 Berdasarkan penjelasan tentang pentingnya peran metode Balanced Scorecard dalam mengukur kinerja organisasi, maka beberapa peneliti menggunakan metode tersebut untuk menilai kinerja rumah sakit sebagai organisasi nirlaba. Maskur (2004) mengukur kinerja Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang dengan pendekatan Balanced Scorecard dengan hasil masing-masing pada perspektif keuangan menunjukkan kinerja belum mencapai maksimal, perspektif konsumen menunjukkan kinerja belum mencapai maksimal, perspektif proses bisnis internal menunjukkan kinerja jauh dari skor maksimal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan menunjukkan kinerja belum mencapai maksimal. Namun, secara keseluruhan Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang termasuk dalam kategori bagus walaupun kinerja masing-masing perspektif belum maskimal yaitu mencapai skor 71,3 dari skala hingga 100.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif dari penelitian Maskur (2004), indikator kepuasan konsumen atau pasien atas pelayanan untuk mendapatkan pemeriksaan di Rumah Sakit Dr. Kariadi merasa tidak puas atas suasana ketenangan rumah sakit dan waktu tunggu. Sedangkan pada indikator kepuasan karyawan selama bekerja di Rumah Sakit Dr. Kariadi karyawan merasa tidak puas atas indikator motivasi. Sehingga diperlukan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh manajemen Rumah Sakit Dr. Kariadi untuk memperbaiki indikator ketenangan rumah sakit serta waktu tunggu untuk mendapatkan pemeriksaan dari perpektif konsumen dan perlunya perbaikan terhadap motivasi karyawan oleh manajemen rumah sakit. Hal ini dikarenakan dengan peningkatan motivasi kerja karyawan maka akan meningkatkan kinerja atau produktivitas karyawan dalam melaksanakan tugasnya di Rumah Sakit Dr. Kariadi.
Nany dkk. (2008) juga menerapkan metode Balanced Scorecard sebagai pengukur kinerja manajemen pada rumah sakit umum daerah (RSUD) Indramayu. Hasil pengukuran kinerja manajemen RSUD Indramayu menunjukkan bahwa pada perspektif keuangan menunjukkan bahwa ROI yang digunakan sebagai tolok ukur variabel perspektif keuangan cenderung meningkat, namun pertumbuhan pendapatan cenderung menurun. Penurunan pendapatan yang tidak dengan segera ditangani pada akhirnya akan menurunkan jumlah laba bersih dan ROI. Hasil pengukuran perspektif pelanggan menunjukkan bahwa retensi pasien cenderung menurun dan akuisisi pasien cenderung meningkat, namun para pasien merasa belum puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh RSUD Indramayu. Apabila ketidakpuasan para pasien ini tidak dengan segera ditangani, pada akhirnya jumlah pasien yang berobat, jumlah pendapatan, jumlah laba bersih dan ROI akan menurun. Hasil pengukuran perspektif proses bisnis intern menunjukkan bahwa produktivas dan profit margin cenderung meningkat. Peningkatan produktivitas dan profit margin pada akhirnya akan meningkatkan kinerja keuangan rumah sakit. Hasil pengukuran perspektif pertumbuhan dan pembelajaran menunjukkan bahwa produktivitas karyawan cenderung meningkat, namun retensi karyawan cenderung meningkat pula serta para karyawan merasa belum puas selama bekerja di RSUD Indramayu. Apabila ketidakpuasan para karyawan ini tidak dengan segera ditangani, pada akhirnya jumlah karyawan yang keluar akan meningkat, produktivitas karyawan, kinerja rumah sakit, jumlah pasien, jumlah laba bersih dan ROI akan menurun.
Nany dkk (2008) menyimpulkan dari hasil pengukuran kinerja RSUD Indramayu dengan Balanced Scorecard menunjukkan bahwa kinerja manajemen cenderung meningkat, yang terlihat dari peningkatan ROI, penurunan retensi pasien, peningkatan akuisisi pasien, peningkatan produktivitas, peningkatan profit margin serta peningkatan produktivitas karyawan. Hasil pengukuran kinerja manajemen dengan Balanced Scorecard juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa indikator yang apabila tidak segera ditangani secara serius dapat menjadi ancaman yang serius bagi kinerja manajemen. Indikator-indikator tersebut antara lain adalah penurunan pertumbuhan pendapatan, para pasien belum puas terhadap pelayanan yang diberikan rumah sakit, peningkatan retensi karyawan serta para karyawan belum puas selama bekerja di rumah sakit. Kinerja keuangan yang buruk seringkali merupakan akibat dari kinerja non keuangan yang buruk. Kinerja non keuangan yang buruk seringkali merupakan tanda-tanda awal memburuknya kinerja keuangan.
Pramadhany (2011) menerapkan metode Balanced Scorecard sebagai tolok ukur penilaian kinerja Rumah Sakit Bhayangkara Semarang sebagai organisasi nirlaba karena merupakan rumah sakit milik Polda Jawa Tengah. Untuk penerapan variabel perspektif keuangan, Pramadhany (2011) menggunakan instrumen value for money yang terdiri dari rasio ekonomis, rasio efektivitas, dan rasio efisiensi. Pada variabel perspektif pelanggan, digunakan pengukuran akuisisi pelanggan, retensi pelanggan, dan tingkat kepuasan pelanggan. Perspektif proses bisnis internal, meliputi proses inovasi dan kualitas pelayanan. Untuk tingkat pelayanan diukur dengan menggunakan standar kinerja pelayanan rumah sakit yaitu Bed Occupancy Rate (BOR), Bed Turn Over (BTO), Turn Over Interval (TOI), Average Leangth of Stay (ALOS), Gross Death Rate (GDR), dan net Death Rate (NDR). Pada variabel perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, digunakan tolok ukur retensi karyawan, dan pelatihan karyawan.
Penelitian pada Rumah Sakit Bhayangkan Semarang dilakukan dengan membandingkan antara kinerja internal rumah sakit dengan kinerja menurut Balanced Scorecard dari tahun 2008-2010. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan nilai rata-rata untuk masing-masing perspektif yaitu keuangan, pelanggan, bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan adalah cukup baik. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja Rumah Sakit Bhayangkara Semarang termasuk dalam kriteria cukup baik.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Woro Wijayanti (2010), dalam penelitiannya “Pengukuran Kinerja Dengan Menggunakan Balanced Scorecard Sebagai Alternatif (Studi Pada RSJD Dr Amino Gondohutomo Semarang)” Menyebutkan bahwa dalam perspektif keuangan, tingkat rasio ekonomi dalam 3 tahun terakhir cukup baik karena terdapat selisih antara anggaran belanja yang ditetapkan PEMDA terhadap realisasi anggarannya. Dalam perspektif konsumen, terdapat penurunan pada tingkat kepuasan konsumen yaitu ALOS (Average Length of Stay) tahun 2006 sebesar 23,08 hari menurun menjadi 21 hari di tahun 2007. Penurunan juga terjadi pada tingkat profitabilitas konsumen di tahun 2007. Dalam perspektif proses bisnis internal, kunjungan rawat jalan di tahun 2007 meningkat. Tingkat kunjungan rawat inap yang diukur dari tingkat BOR (Bed Occupancy Rate) , TOI (Turn Over Internal), BTO (Bed Turn Over Rate), GDR (Gross Death rate), dan NDR (Net Death Rate) dinilai baik. Dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan yang diukur melalui tingkat produktifitas mengalami peningkatan, retensi karyawan yang turun, dan tingkat kepuasan karyawan yang belum cukup.
Prasetyono dan Nurul (2007) menganalisa kinerja rumah sakit daerah di Jawa Timur dengan pendekatan Balanced Scorecard berdasarkan komitmen organisasi, pengendalian intern dan penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa kinerja rumah sakit daerah di Jawa Timur berdasarkan balanced scorecard dapat optimal apabila didukung oleh komitmen organisasi baik dari individu, karyawan, maupun manajer dalam rumah sakit daerah dan pengendalian internal yang baik. Dengan adanya pengendalian internal yang baik maka akan dapat direalisasikan good corporate governance. Disamping itu, secara teoritis dikatakan bahwa komitmen mempengaruhi perilaku seseorang dalam mendorong efektivitas organisasi.
Bharata (2011) menerapkan Balanced Scorecard dalam mengukur kinerja Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari tahun 2008-2010. Kinerja Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari tahun 2008-2010 diukur dari perspektif pelanggan sudah baik. Perspektif pelanggan dalam  penelitian  ini  diukur  dengan menggunakan lima indikator yaitu: kepuasan pelanggan, customer retention, customer acquistion, rata-rata pasien rawat jalan dan darurat, dan rata-rata pasien rawat inap. Kinerja Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari tahun 2008-2010 diukur dari perspektif finansial sudah baik. Perspektif finansial dalam  penelitian  ini  diukur  dengan menggunakan sepuluh indikator rasio keuangan   yaitu: return on asset, return on equity, rasio lancar, rasio efisiensi, rasio perputaran aset, rasio perputaran aset tetap, rata-rata umur piutang, rasio belanja terhadap pendapatan, rasio ekuitas terhadap aset, dan rasio kewajiban terhadap aset. Hal  ini  dapat dilihat dari ROA dan ROE yang mempunyai nilai negatif dan berfluktuatif karena RSUD Wonosari pada tahun 2010 sedang membangun poliklinik terpadu dan ruang perawatan. Kinerja Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari tahun 2008-2010 diukur dari perspektif proses bisnis internal sudah baik. Perspektif proses bisnis internal dalam  penelitian  ini  diukur  dengan menggunakan lima  indikator yaitu: kualitas pelayanan, BTO, BOR, TOI, AvLos. Kinerja Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari tahun 2008-2010 diukur dari perspektif pertumbuhan dan pembelajaran sudah baik. Perspektif pertumbuhan dan perkembangan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan lima indikator yaitu: kepuasan pegawai, pelatihan dan pengembangan pegawai, komitmen pegawai, motivasi kerja pegawai, disiplin pegawai.
Penelitian yang dilakukan Putu Wirasata (2010) menguji metode Balanced Scorecard pada RSUD Tg. Uban. Pada variabel keuangan, digunakan tolok ukur neraca, laporan realisasi anggaran, laporan arus kas, dan analisis rasio keuangan untuk mengukur indikator kinerja keuangan rumah sakit berdasarkan pengukuran value for money. Dari hasil pengukuran tolok ukur tersebut menunjukkan hasil kinerja perspektif keuangan yang cukup baik dengan nilai rata-rata sebesar 3,80 dari kesimpulan kinerja keuangan yang sangat efektif (nilai 5), cukup ekonomis (nilai 3), sangat tidak efisien (nilai 1), sangat likuid (nilai 5), dan sangat solven (nilai 5). Untuk perspektif kepuasan pelanggan digunakan tolok ukur aspek wujud fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati. Berdasarkan pengukuran tiap aspek tolok ukur tersebut tingkat kepuasan pelanggan secara keseluruhan dikategorikan cukup baik untuk RSUD Tg. Uban. Perspektif bisnis internal, digunakan tolok ukur aspek sarana dan prasarana rumah sakit, proses, dan kepuasan bekerja. Berdasarkan penilaian terhadap masing-masing aspek tersebut, sebagian besar responden menyatakan cukup puas atas upaya pegawai rumah sakit dalam mendukung tujuan manajemen. Pada variabel perspektif pertumbuhan dan pembelajaran, peneliti menggunakan aspek motivasi (reward and punishment), kesempatan mengembangkan diri, inovasi, dan suasana dalam bekerja. Hasilnya menunjukkan bahwa secara umum pegawai rumah sakit menyatakan setuju atas kebijakan manajemen dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berguna untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang optimal pada masyarakat. Sehingga pengukuran variabel pertumbuhan dan pembelajaran pada RSUD Tg. Uban dikategorikan baik. Dari keseluruhan aspek Balanced Scorecard menunjukkan nilai kinerja tertinggi terletak pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran, dan nilai kinerja terendah pada perspektif kepuasan pelanggan. Sedangkan secara keseluruhan nilai capai akhir kinerja RSUD Tg. Uban termasuk dalam kategori cukup baik.
Sudarti (2011) mengukur kinerja RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung dengan metode Balanced Scorecard. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa RSUD Dr. H. Abdul Moeloek belum mampu menghasilkan surplus yang stabil karena rumah sakit ini merupakan badan layanan umum yang tidak berorientasi pada profit. Pelanggan puas atas pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit. Kinerja proses bisnis internal secara umum dapat dikatakan baik. Retensi pegawai rendah, namun kurang didukung oleh kondisi kerja yang memuaskan dan rendahnya produktivitas.
Penelitian Rasmini dkk. (2009) menilai kinerja Badan Rumah Sakit Umum Tabanan berdasarkan Balanced Scorecard. Badan Rumah Sakit Umum Tabanan merupakan lembaga teknis daerah dengan sistem Badan Layanan Umum (BLUD). Sebagai rumah sakit pemerintah yang dikelola secara sosioekonomis, maka misi sosial menjadi prioritas utama. Namun, dalam pengelolaannya tidak meninggalkan prinsip-prinsip bisnis dalam mengembangkan produk layanan. Penilaian kinerja perspektif keuangan dalam penelitian ini menggunakan pengukuran Value For Money, yaitu mengukur tingkat ekonomi, tingkat efisiensi, dan tingkat efektivitas BRSU Tabanan. Data yang digunakan dalam pengukuran Value For Money adalah anggaran pendapatan, realisasi pendapatan, anggaran belanja, realisasi belanja pada BRSU Tabanan tahun 2004 sampai dengan 2008.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keuangan BRSU Tabanan dari tahun 2004 sampai dengan 2007 sudah ekonomis, sedangkan tahun 2008 tidak ekonomis. Kondisi tersebut terjadi karena realisasi belanja lebih besar dibandingkan dengan anggaran belanja, khususnya pada belanja pegawai pada belanja tidak langsung dan belanja barang dan jasa pada belanja langsung. Ekonomis berkaitan dengan meminimalkan biaya untuk memperoleh sumber daya pada tingkat kualitas tertentu (spending less). Untuk tingkat efisiensi, keuangan BRSU Tabanan belum efisien. Hal itu disebabkan oleh realisasi belanja lebih besar dari pada realisasi pendapatan. Kegiatan operasional dikatakan belum efisien karena hasil (output) tertentu belum dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan dana yang serendah-rendahnya (spending well). Sebaliknya, tingkat efektivitas keuangan BRSU Tabanan tahun 2004 sampai dengan 2008 sudah efektif. Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Kegiatan operasional efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan (spending wisely).
Dalam mengukur variabel kepuasan pelanggan, didapatkan nilai nyata rata-rata kepuasan pelanggan untuk dimensi bukti langsung dengan predikat puas, keandalan dengan predikat puas, daya tanggap dengan predikat sangat puas, jaminan dengan predikat puas, dan empati dengan predikat puas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelayanan BRSU Tabanan dapat memenuhi harapan pasien dan memuaskan mereka karena terpenuhinya kepentingan (importance) dengan kenyataan yang dirasakan (performance). Kualitas pelayanan harus mengacu pada pandangan pelanggan, bukan pada pihak penyedia jasa. Pelanggan layak menentukan pelayanan itu berkualitas atau tidak. Kinerja BRSU Tabanan dari perspektif pelanggan adalah baik.
Pada penilaian kinerja dari perspektif proses bisnis internal pada BRSU Tabanan menunjukkan terjadinya penambahan infrastruktur untuk mendukung operasional BRSU Tabanan sehingga terjadi peningkatan mutu proses atau mutu layanan. Dengan demikian kinerja BRSU Tabanan dari perspektif proses bisnis internal adalah baik. Selain itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa angka kematian umum (GDR) pada BRSU Tabanan tahun 2004 sampai dengan 2008 adalah di bawah 45 persen per tahun. Data tersebut menunjukkan bahwa kualitas pelayanan BRSU Tabanan dari perspektif proses bisnis internal adalah baik. Sesuai dengan standar Departemen Kesehatan RI bahwa angka Gross Death Rate (GDR) maksimal 45 persen per 1.000 pasien per tahun kualitas pelayanan dinilai baik.
Penilaian kinerja dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, pada tahun 2005 mengalami penurunan produktivitas karyawan BRSU Tabanan sebesar 24,36% dari tahun 2004. Pada tahun 2006 kembali mengalami penurunan dari tahun 2005 terjadi penurunan produktivitas 15,78% dan pada tahun 2007 produktivitas karyawan menurun 10,68%. Sebaliknya, pada tahun 2008 terjadi peningkatan produktivitas yang sangat tinggi, untuk aspek kepuasan karyawan pada perspektif pembelajaran dan pertumbuhan menunjukkan nilai nyata rata-rata untuk kelima unsur dimensi, yaitu kerja secara mental, ganjaran, kondisi kerja, rekan kerja, dan kesesuaian dengan kepribadian menunjukkan predikat puas. Ini berarti bahwa para karyawan puas terhadap pekerjaan yang mereka lakukan di BRSU Tabanan.
Sedangkan dalam menanggapi fenomena otonomi daerah tentang pentingnya rumah sakit pemerintah menjadi badan layanan umum (BLU), Mustafa dkk (2009) melakukan penelitian model pengukuran kinerja rumah sakit swasta dan pemerintah dalam era otonomi daerah. Studi ini dilakukan pada rumah sakit tipe C/kelas III di kabupaten Banyumas yaitu dengan objek penelitian RS Islam Purwokerto sebagai rumah sakit swasta dan RSUD Ajibarang sebagai rumah sakit pemerintah yang telah menjadi BLUD. Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbedaan pengukuran Balanced Scorecard pada kedua rumah sakit tersebut sebagai pembanding apakah rumah sakit pemerintah yang menjadi BLUD sudah mampu bersaing dengan rumah sakit swasta dengan tipe rumah sakit yang sama.
Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perspektif keuangan pada rumah sakit pemerintah (RSUD Ajibarang) dan rumah sakit swasta (RS Islam Purwokerto). Kedua kelompok menunjukkan hasil kinerja keuangan rumah sakit swasta lebih baik daripada rumah sakit pemerintah (RSS > RSP) dengan perbedaan rata-rata sebesar 2,957. Pada perspektif pembelajaran dan pertumbuhan kinerja rumah sakit swasta masih lebih baik dari rumah sakit pemerintah (RSS > RSP) dengan perbedaan rata-rata 3,649. Terdapat perbedaan kinerja pada perspektif pelanggan (pasien) pada rumah sakit swasta lebih baik daripada rumah sakit pemerintah (RSS > RSP) dengan perbedaan rata-rata 1,791. Pada perspektif kinerja pelayanan dan administrasi rumah sakit swasta juga lebih baik daripada rumah sakit pemerintah (RSS > RSP) dengan perbedaan rata-rata 2,287.
Dari hasil tersebut dapat diasumsikan bahwa untuk perspektif kinerja proses pelayanan terhadap pelanggan rumah sakit pemerintah (RSUD Ajibarang) sudah mampu bersaing dengan RSS (RS Islam Purwokerto) karena tingkat nilai rata-rata perbedaan yang tidak terlalu jauh dibandingkan dengan nilai pada perspektif yang lain. Akan tetapi, kinerja RSP perlu ditingkatkan agar lebih bersaing dengan RSS dengan mengoptimalkan kemampuan sumber daya manusia yang ada.
Mustafa dan Anton (2009), menggunakan Balanced Scorecard untuk menilai kinerja dan perbandingannya dari delapan rumah sakit yang dijadikan objek penelitian. Delapan rumah sakit tersebut dikelompokan berdasarkan tipe/kelasnya yaitu RS Cilacap, RS Banyumas, dan RS Purworejo sebagai rumah sakit tipe B; dan RS Purbalingga, RS Ajibarang, RS Kebumen, RS Majenang, dan RS Banjarnegara sebagai rumah sakit tipe C.
Pada rumah sakit tipe B, dari hasil penelitian tersebut menunjukkan RSUD Banyumas kinerja pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran lebih baik dibandingkan dengan RSUD Purworejo dan RSUD Cilacap (Banyumas > Purworejo > Cilacap). Terdapat perbedaan dalam perspektif keuangan pada RS  Cilacap, Banyumas, dan Purworejo. Untuk perspektif kinerja keuangan RSUD Purworejo lebih baik dibandingkan RSUD Banyumas dan RSUD Cilacap (Purworejo > Banyumas > Cilacap). Terdapat perbedaan perspektif pelanggan pada RS Cilacap, Banyumas, dan Purworejo. Menunjukkan kinerja RSUD Cilacap dari perspektif pelanggan lebih baik dibandingkan dengan RSUD Purworejo dan RSUD Banyumas (Cilacap > Purworejo > Banyumas). Pada perspektif pelayanan dan administrasi pada RS  Cilacap, Banyumas, dan Purworejo menunjukkan RSUD Cilacap memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan RSUD Banyumas dan RSUD Purworejo (Cilacap > Banyumas > Purworejo).
Pada rumah sakit tipe C, dari hasil penelitian tersebut menunjukkan RSUD Purbalingga kinerja pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran lebih baik dibandingkan dengan RSUD Majenang, RSUD Ajibarang, RSUD Kebumen, dan RSUD Banjarnegara (Purbalingga > Majenang > Ajibarang > Kebumen > Banjarnegara). Untuk perspektif kinerja keuangan RSUD Majenang lebih baik dibandingkan RSUD Purbalingga, RSUD Ajibarang, RSUD Kebumen dan RSUD Banjarnegara (Majenang > Purbalingga > Ajibarang > Kebumen > Banjarnegara). Pada pengukuran kinerja perspektif pelanggan menunjukkan kinerja RSUD Ajibarang dari perspektif pelanggan lebih baik dibandingkan dengan RSUD Kebumen, RSUD Purbalingga, RSUD Majenang, dan RSUD Banjarnegara (Ajibarang > Kebumen > Purbalinggan > Majenang > Banjarnegara). Pada perspektif pelayanan dan administrasi menunjukkan RSUD Ajibarang memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan RSUD Purbalingga, RSUD Kebumen, RSUD Majenang dan RSUD Banjarnegara (Ajibarang > Purbalingga > Kebumen > Majenang > Banjarnegara).

3. Kesimpulan
Rumah sakit pemerintah sebagai organisasi nirlaba telah mengalami dinamisasi perubahan seiring banyaknya tuntutan dari lingkungan eskternal dan internal. Rumah sakit pemerintah yang terdapat di tingkat pusat maupun daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut yang menilai rumah sakit untuk mencapai kinerja yang lebih baik.
            Rumah sakit pemerintah perlu diukur kinerjanya karena pengukuran kinerja dapat digunakan untuk menilai keberhasilan suatu organisasi serta untuk melakukan penyusunan strategi-strategi yang sesuai. Beberapa peneliti mencoba menilai kelayakan kinerja rumah sakit di Indonesia dengan menggunakan metode Balanced Scorecard. Tujuannya adalah agar dapat diketahui dengan pasti apakah pencapaian kinerja yang tidak sesuai disebabkan oleh faktor input yang kurang mendukung atau kegagalan pihak manajamen. Penggunaan metode ini dianggap cukup handal karena selain mampu mengukur aspek internal organisasi juga dapat mengukur aspek hubungan dengan pihak eksternal, serta dapat menilai kinerja yang ekonomis, efisiensi, dan efektif dari sumber data laporan keuangan rumah sakit.
Dari hasil penelitian mengindikasikan hasil penilaian kinerja rumah sakit yang bervariasi pada tiap rumah sakit di Indonesia yaitu masih adanya hasil kinerja yang belum maksimal, sehingga rumah sakit sebagai organisasi milik pemerintah dinilai kinerjanya kurang baik dari hasil pengukuran masing-masing perspektif tersebut. Secara umum, pada perspektif keuangan kinerja rumah sakit dapat diukur dari neraca, laporan realisasi anggaran, laporan arus kas, dan analisis rasio keuangan sebagai tolok ukur sesuai indikator value for money dalam menguji hasil kinerja keuangan yang ekonomis, efisien, dan efektif. Untuk perspektif kinerja kepuasan pelanggan digunakan tolok ukur aspek wujud fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati terhadap pelanggan (pasien rumah sakit). Untuk kinerja perspektif bisnis internal, digunakan aspek sarana dan prasarana rumah sakit, proses, dan kepuasan bekerja. Pada variabel perspektif pertumbuhan dan pembelajaran, peneliti menggunakan aspek motivasi (reward and punishment), kesempatan mengembangkan diri, inovasi, dan suasana dalam bekerja.
Berdasarkan hasil dari pengukuran kinerja rumah sakit yang masih memerlukan perhatian dan aspek perbaikan, rumah sakit pemerintah tampaknya harus didukung oleh birokrasi yang responsif untuk segera melakukan kebijakan perbaikan dalam mengantisipasi perubahan di lapangan untuk meningkatkan kinerja internal rumah sakit. Sehingga rumah sakit sebagai organisasi publik dapat memberikan kepuasan kepada pasiennya; lebih efisien, ekonomis, dan efektif dalam mengelola keuangan rumah sakit; memiliki proses bisnis internal yang baik untuk mencapai kepuasan dalam bekerja; serta pegawai rumah sakit berkesempatan dan berani dalam mengembangkan diri, berinovasi, dan menciptakan budaya organisasi yang baik.




Daftar Pustaka

Atkinson, Anthony A, dkk. 1995. Management Accounting. Second Edition. Prentice Hill. Richard D Irwin, Inc. Pillipines.

Bastian, Indra. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE.

Bharata, Risma W. 2011. “Penerapan Balance Scorecard dalam Mengukur Kinerja Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari Tahun 2008-2010”, Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.

Chen, Xiao Yun., dkk. (2006), “Using the Balanced Scorecard to Measure Chinese and Japanase Hospital Performance”, International Journal of Health Care Quality Assurance, Vol. 19 No. 4. Pp. 339-350.

Dessler, Gary. 1994. Human Resources Management. 6th Edition. Pearson. Upper Saddle River. New Jersey

Griffith, J.R., Alexander, J.A. dan Jelinek, R.C. (2002), “Measuring comparative hospital performance”, Journal of Healthcare Management, Vol. 47 No. 1, pp. 41-57.

Gunawan, Indri. 2010. “Pengaruh Komitmen Organisasi, Budaya Organisasi dan Pengendalian Intern terhadap Penerepan Good Corporate Governance (GCG) serta Dampaknya pada Kinerja Rumah Sakit”, Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman.

Hendrawan, Ronny. 2011. “Analisis Penerapan PSAK No. 45 tentang Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba pada Rumah Sakit Berstatus Badan Layanan Umum”, Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.

Mahsun, Mohamad. 2007. Akuntansi Sektor Publik. Edisi Kedua. Yogyakarta: BPFE.

Mardiasmo. 2009. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: C.V Andi Offset.

Pramadhany, W.E.Y. 2011. “Penerapan Metode Balanced Scorecard sebagai Tolok Ukur Penilaian Kinerja pada Organisasi Nirlaba”, Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.

Prasetyono, Nurul Kompyurini. 2007. “Analisis Kinerja Rumah Sakit Daerah dengan Pendekatan Balanced Scorecard berdasarkan Komitmen Organisasi, Pengendalian Intern, dan Penerapan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance”. Simposium Nasional Akuntansi X Makasar.

Rasmini, Ni Luh Supadmi, Ni Luh Putu H.C. 2009. “Penilaian Kinerja Badan Rumah Sakit Umum Tabanan”, Ejournal, Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.

Robertson, Gordon. (2002). Review Kinerja, Lokakarya Review Kinerja: BPKP dan Excecutive Education.

Maskur. 2004. “Pengukuran Kinerja dengan Pendekatan Balanced Scorecard”, Tesis, Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro.

Mustafa, Anton B.D. 2009. “Model Pengukuran Kinerja Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dalam Era Otonomi Daerah (Studi pada 6 Kabupaten Eks-Karesidenan Banyumas dan Sekitarnya”, Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional, Universitas Jenderal Soedirman.

Mustafa, Icuk R.B. dan Yanuar Nugroho, 2009. “Model Pengukuran Kinerja Rumah Sakit Swasta dan Pemerintah dalam Era Otonomi Daerah”, Penelitian DIPA, Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman.

Nany, Lyna R., Kartika W.H. 2008. “Penerapan Balanced Scorecard sebagai Pengukur Kinerja Manajemen pada Rumah Sakit Umum Daerah Indramayu”, Jurnal Riset Akuntansi dan Keuangan, Vol. 4 No 1, Hal. 48-58.

Wirasata, Putu. 2010. “Analisis Pengukuran Kinerja RSUD Tg. Uban Provinsi Kepulauan Riau dengan Metode Balanced Scorecard”, Tesis, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia.

Zelman, W.N., Pink, G.H. dan Mathias, C.B. (2003), “Use of the balance scorecard in health care”, Journal of Health Care Finance, Vol. 29 No. 4, pp. 1-16.
Bagikan

Surat Sayang dari Allah

Saat kau bangun pagi hari, AKU memandangmu dan berharap engkau akan berbicara kepada KU, walaupun hanya sepatah kata meminta pendapatKU atau bersyukur kepada KU atas sesuatu hal yang indah yang terjadi dalam hidupmu hari ini atau kemarin ……

Tetapi AKU melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan diri untuk pergi bekerja …….
AKU kembali menanti saat engkau sedang bersiap, AKU tahu akan ada sedikit waktu bagimu untuk berhenti dan menyapaKU, tetapi engkau terlalu sibuk ………
Disatu tempat, engkau duduk disebuah kursi selama lima belas menit tanpa melakukan apapun. Kemudian AKU Melihat engkau menggeerakkan kakimu. AKU berfikir engkau akan berbicara kepadaKU tetapi engkau berlari ke telephone dan menghubungi seorang teman untuk mendengarkan kabar terbaru.
AKU melihatmu ketika engkau pergi bekerja dan AKU menanti dengan sabar sepanjang hari. Dengan semua kegiatanmu AKU berfikir engkau terlalu sibuk mengucapkan sesuatu kepadaKU.

Sebelum makan siang AKU melihatmu memandang sekeliling, mungkin engkau merasa malu untuk berbicara kepadaKU, itulah sebabnya mengapa engkau tidak menundukkan kepalamu.
Engkau memandang tiga atau empat meja sekitarmu dan melihat beberapa temanmu berbicara dan menyebut namaKU dengan lembut sebelum menyantap rizki yang AKU berikan, tetapi engkau tidak melakukannya …….
masih ada waktu yang tersisa dan AKU berharap engkau akan berbicara kepadaKU, meskipun saat engkau pulang kerumah kelihatannya seakan-akan banyak hal yang harus kau kerjakan.
Setelah tugasmu selesai, engkau menyalakan TV, engkau menghabiskan banyak waktu setiap hari didepannya, tanpa memikirkan apapun dan hanya menikmati acara yg ditampilkan. Kembali AKU menanti dengan sabar saat engkau menonton TV dan menikmati makananmu tetapi kembali kau tidak berbicara kepadaKU ………
Saat tidur, KU pikir kau merasa terlalu lelah. Setelah mengucapkan selamat malam kepada keluargamu, kau melompat ketempat tidur dan tertidur tanpa sepatahpun namaKU, kau sebut. Engkau menyadari bahwa AKU selalu hadir untukmu.
AKU telah bersabar lebih lama dari yang kau sadari. AKU bahkan ingin mengajarkan bagaimana bersabar terhadap orang lain. AKU sangat menyayangimu, setiap hari AKU menantikan sepatah kata, do’a, pikiran atau syukur dari hatimu.
Keesokan harinya …… engkau bangun kembali dan kembali AKU menanti dengan penuh kasih bahwa hari ini kau akan memberiku sedikit waktu untuk menyapaKU …….Tapi yang?? KU tunggu …….. tak kunjung tiba ……tak juga kau menyapaKU.
Subuh …….. Dzuhur ……. Ashyar ………. Magrib ……… Isya dan Subuh kembali, kau masih mengacuhkan AKU ….. tak ada sepatah kata, tak ada seucap do’a, dan tak ada rasa, tak ada harapan dan keinginan untuk bersujud kepadaKU ……….
Apa salahKU padamu …… wahai UmmatKU????? Rizki yang KU limpahkan, kesehatan yang KU berikan, harta yang KU relakan, makanan yang KU hidangkan, anak-anak yang KUrahmatkan, apakah hal itu tidak membuatmu ingat kepadaKu....!!!!!!!

Percayalah AKU selalu mengasihimu, dan AKU tetap berharap suatu saat engkau akan menyapa KU, memohon perlindungan KU, bersujud menghadap KU …… Yang selalu menyertaimu setiap saat ……..
Bagikan

Rabu, 04 Juli 2012

Global Economic Crisis (2011)


By: Yanuar Nugroho, Fredi Dharmawan, Catur Haryati
Universitas Jenderal Soedirman
2011


OVERVIEW SECTION
            Financial disaster struck the super power country , United States of America. Several world-class banks that have been scattered over the world, have been bankrupt. Starting from the bankruptcy of Lehman Brothers, the giant banks and giant financial firm like Bear Stearns. Moments earlier, U.S. government forced
take over the largest mortgage companies in America; Freddie Mac and Fannie Mae, while Merrill Lynch was not different to others, until Merril Lynch was acquired by Bank of America
(Yost, 2008). The largest insurance company, AIG (American International Group) showed the same critical phenomenon. To overcome this great crisis and save giant banks that collapsed, U.S. government was forced to bailout $ 700 billion dollars to 1 trillion U.S. dollars. Interventions of USA government against the financial sector was a policy that contradicts with capitalism principle which adopted by government of USA itself. In fact, that injection of funds which similar with BLBI, it had no significant effect to overcome crisis. This bailout policy, not only done by  USA government, but also European and Asian central banks intervened to inject funds to boost liquidity in the economy, which is expected to prevent the domino effect of collapse of world class of investment banks.
            After Lehman Brothers got bankrupt, world's financial markets did free fall in the lowest level. Several major banks and many other investment banks collapsed in the United States. It immediately triggered panic in various financial centers worldwide. Capital markets in the United States, Europe and Asia got panic that finally caused collapse of the stock price index in each market. Stock markets freefall into the abyss. While the bond market slumped, currency of developing countries weakened and commodity prices fell, especially after the oil commodity speculators judged that the economic recession will reduce energy consumption of the world.
            In the U.S., Wall Street got into slumped. Dow Jones as the epicenter of world capital markets fell down. Dow Jones index showed the worst figures in the last four years which was under the number 10,000. In order to anticipate financial crisis, seven central banks (including the U.S. Federal Reserve, European Central Bank, Bank of England and Bank of Canada) cut 0.5% of interest rate. This was the first time ever that central bank's interest rate policy conducted simultaneously in large scale.
            Based on the facts and realities that happened today, it was obvious that the dramatic deterioration of the financial crisis are in very low level. The impact of the current crisis of global finance feel so bad.
            From the shelf above, the economic figures expected to be able to overcome the problem of global crisis. So did the accountants. Because it is in part of global crisis problem. The accountants are required to contribute in solving the problem and prevent another crisis. 

CONTENT

A. Causes of last global crisis :
1. Subprime mortgage in housing sector
The financial crisis in 2008 is of such epic proportions that even astronomical amounts spent to address the problem have so far been insufficient to resolve the it. Besides the well-publicized $700 billion approved by Congress, the Federal Reserve has attempted to bail out institutions and markets with about $1.3 trillion in investments in various risky assets, including loans to otherwise bankrupt institutions and collateralized debt obligations like those backed by subprime mortgages that are defaulting at rapid rates (Morris, 2008).

The word "mortgage" comes from a legal term in French. That's a little bit different from house loans. In a mortgage, a person gets credit, and then he has a house. The house was on leave to the parties who provide credit. A person may occupy during the mortgage is not repaid. Because the house was not proprietary, if mortgage payments is bad, that house cannot be occupied anymore and people must go from the house itself.
The investment banking (a similar company of the Bank, because these firms receive various kinds of deposits, but are not bound by the rules of banking) was so aggressive.  In the past, only qualified persons (prime) who could get a mortgage, but now  less qualified persons(sub-prime) are stimulated to ask for a mortgage. In USA, everyone has a rating. High-low rating is determined by the size of the income and least wasteful lifestyle. People who called the prime is a ratings 600 and above. Every year people can estimate about their own ratings go up or down. If it reaches 600, they may aspire to have a home through mortgage. If not 600, they must try to reach 600. 
On the other hand, employers want the company to grow bigger and get higher profit. Then the market was inflated. People who actually had 500 rating, had been offered mortgages that actually it couldn’t be done. Company assume if payments was bad, the house could be confiscated. After the house was confiscated, it can be sold in higher price than the value of the loan but they never think about the long term.
In less than ten years, failure of mortgage payments immediately became skyrocket. The number of confiscated house was so numerous. Number of houses sold were growing dramatically,  then it spurred a falling house prices to the lowest level. 
By the decline in home prices that were not appropriate with value of loans that caused failure in credit payment,  bank or  investment banking that gave mortgages, guaranteed to banks or other investment banking, then they also guaranteed to anothers. So after the credit payment was bad then all guarantor institutions collapsed in a sequence like dominoes.  
 Lehman Brothers, Bear Stern, Merrill Lynch and many more are the types of investment banking. With their freedom, they could be more aggressive. They can give a loan without any restriction provisions. They can buy the company and sell it at any time. If money is not enough, they could borrow to anyone : to other banks or to another investment banking or also to the rich people who have a lot of money with the term "personal banking". This freedom have dragged them into bankruptcy.
The crisis was happened because companies were too confident in lending, particularly in the housing sector. Even persons / entities who had a bad reputation , they still could get credit. Finally,  it caused massive credit flowing to improper people. This, of course will spur the emergence of bad debts. The occurrence of bad debt in the housing sector (sub-prime mortgage) which dragged the bad debt at banks and it forced FED (Central Bank of the United States) to made lower interest rates to 2%. The crisis that occurred in early 2008 spurred the increase in world crude oil prices reaching record highs in May amounted to 147 USD / barrel.
However, the crisis was not over yet. Rising crude oil prices make the business world declining consumer purchasing ability, thus causing doubts and market uncertainty. Housing credit crisis was finally destroy two big name companies in the financial sector, Merrill Lynch and Lehman Brothers. Share prices on the USA stock market (Wall Street) and world were on the decline and begin to trigger a crisis which affects the collapse of investment banks and insurance company. It made Government of the USA realized that this crisis cannot be dammed, and the U.S. Congress approved the requested $ 700 billion bailout to help the financial sector. A further $900 billion is being proposed in lending to large corporations (Aversa, 2008), making a total of nearly $3 trillion in bailout money so far, without even counting the massive sum of corporate debts guaranteed by the U.S. government in the last year.

2. . Overconfidence in lending
Because too confident in lending, particularly in the housing sector so that the person / entity who has a bad reputation that it still get the credit that caused massive credit flowing to its creditors who have any problem. This of course will spur the emergence of bad debts. The occurrence of non-performing loans in the housing sector (sub-prime mortgage) which dragged the bad loans at banks and forcing the FED (Central Bank of the United States) to lower interest rates to 2%. The crisis that occurred in early 2008 spurred the increase in world crude oil prices reaching record highs in May amounted to 147 USD / barrel. 
However, the crisis is not over. Rising crude oil prices make the business world declining consumer purchasing power, thus causing doubts and market uncertainty. Housing credit crunch is finally bulldozing two big name companies in the financial sector, Merrill Lynch and Lehman Brothers. Share prices on the USA stock market (Wall Street) and the world are on the decline and begin to trigger a crisis which affects the collapse of investment banks and insurance company’s world. It was then that the Government of the USA realizes that this crisis cannot be dammed, and the U.S. Congress approved the requested $ 700 billion bailout to help the financial sector. However, the move was too late because of panic in the stock market has hit the entire world.


B. Accountant's role in global crisis
Accountants were instrumental in improving transparency and accountability in the economy of a country. Accountant has important role to repair the financial system that involves various aspects:
1.     Towards a system of accrual accounting and budgeting for the express rights and obligations of contingency and performance-based long-term planning;
2.     Realizing the financial accounting system that integrated state (TSA-Treasury Single Account);
3.     Using a system that integrates computer technology applications;
4.     Conduct an inventory and revaluation of assets and debts the state;
5.     Improving quality assurance by the internal auditor;
6.     Improving the quality of human resources (HR) in the field of accounting and financial management of the state;
7.     Encourage transparency (transparency) and integrity (integrity) in financial reporting (financial reporting) company;
8.     Encourage accountability (accountability) in the asset management company.
9.     Encourage accountability (responsibility) to public companies through the Corporate Social Responsibility / CSR, community development or Partnership & Community Development (CSR);
10.  Encourage independence (independency) of the company against the relevant parties, including minority shareholders;
11.  Encourage fairness (fairness) in the procurement of goods & services, including ensuring universal no violation of the anti-monopoly law and fair business competition.

C. Accountant`s role to prevent a crisis happening again in the future.
Accountant association can give formal recommendation to government for nationalizing the depository institutions of the failed corporate holding companies, and simply let the holding companies and all other failed institutions go bankrupt and default on their credit default swaps. The nationalized banks could then go back to making loans as they did in the old days, having real human beings make credit granting decisions. In addition, nationalized banks could choose to take controlling equity positions in borrowing companies in default on their loans and effectively nationalize them in order to enable them to continue to operate (and maintain some production and employment) if they have some chance of recovery (Murphy, 2009)).
The cost of this policy to taxpayers might be rather small, especially since most of the losses on the defaulting credit default swaps would then either be offsetting or be incurred by investors like hedge funds. In addition, given that the current massive rescue operations don’t seem to be successful in averting an economic downturn, it is unclear the need to rescue many of the failed financial institutions.

Another policy that might enhance profitability and help reverse the ongoing economic decline would be to have cases of defaults on secured consumer loans (such as for autos or homes) result in possible renegotiation of both the loan terms and the collateral in a unique way (Murphy, 2008).

Accountants are part of the financial system management processor. The process of the correct course would result in proper financial reporting. Therefore, countries accounting executive who has a healthy and strong will result in a country that has a good economy as well. Some accounting principles must be implemented by the accountant in order to prevent a global crisis, as follows: 
  1. Accountability
Results-oriented accountability. 
This is the basis for the application of performance-based budgeting. That is, the accountability of State Finance will be the performance of what has been achieved by the Government in passing the state budget funds / budget. If no performance is achieved then not be penny-State money was spent.


  1. Professionalism.
Because state money is public money that should be the maximum value (value for money) for the welfare of the community, not just the welfare of the State apparatus. Therefore, the management of State Finance to be managed professionally. Implementation of financial accounting system should really be applied either to the state budget and local budget. 
  1. Transparency in the management of State finances. 
People's right to know where and to what the State budget is spent. In the State Financial accountability, the public should be given the right to know the State Financial accountability made by the State or region. At a minimum, the Government Accountability Reports should be published so that people can assess this accountability. 
  1. Audits by agency inspectors a free and independent. 
  2. State Finances are managed in an orderly manner; abide by laws and regulations, efficient, economical, effective, transparent and accountable with respect to a sense of fairness and decency. 
 
CONCLUSION SECTION
 The economic crisis that hit the United States occurs due to breakdown of property loans (subprime mortgage), a kind of mortgage loans (mortgage) in Indonesia. This was followed by a collapse of financial institutions in the United States.
Here are a few conclusions can be drawn:
1.     The global crisis has dragged the impact to all countries, including Indonesia although on different scales. Although the subprime mortgage crisis that is the beginning of the creation of crisis, but the actual amount is relatively small compared to the overall losses, which in turn experienced by the economy as a whole. Large losses that occur in fact sourced from the practice of packaging subprime mortgages into various forms of other securities, which later traded on global financial markets.
2.     In order to face global crisis, the accountant does not just sit on my hands just to be spectators, but are expected to participate actively participate as a profession that can help management to promote the establishment of an effective organization in the company's financial system. So the company is able to reduce the adverse impact caused a global crisis.
3.     Given the global financial crisis is very bad impact on financial stability and crisis countries this can happen anytime and anywhere, then the accountant is expected to implement prevention in order not to happen again with accounting measures such as promoting corporate accountability, transparency, audit, and others.




SUB REFERENCE PAGE

A. Murphy.2009. ” An Analysis of the Financial Crisis of 2008: Causes and Solutions”. Journal of Accounting Research.
C. Morris. “Fed's $1.6 Trillon Bet: The $700-Billion Wall Street Bailout Was Only the Half of It.” Washington Independent (October 14, 2008).
Departemen Keuangan, 2008. “Memahami Krisis Keuangan Global”. Jakarta.
Ikatan Akuntansi Indonesia. 2009. “Akuntan Indonesia Mitra dalam Perubahan”. http://www.iaiglobal.or.id/data/referensi/ai_edisi_20.pdf, accessed on March 28th, 2011.
J. Aversa. “Fed Eyes Plan to Fund Short-Term Business Loans.” Associated Press (October 7, 2008).
Mudrajad. 2008. “Memahami Krisis Keuangan Global”. http://mudrajad. com/upload/memahami%20krisis%20global.pdf, accessed on March 28th, 2011.
Silfisufiyah. 2011. “Peran Auditor menghadapi Krisis Finansial Global”. http: //silfisulfiyah.blogspot.com/2011/01/peran-auditor-internal menghadapi. html, diakses 29 Maret 2011.
Yost. “AP IMPACT: Mortgage Firm Arranged Stealth Impact.” Associated Press (October 20, 2008).

Bagikan

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India