Kamis, 05 Juli 2012

Kinerja Rumah Sakit Pemerintah (Aplikasi Balanced Scorecard)


1. Pendahuluan
            Organisasi nirlaba atau organisasi non profit merupakan suatu organisasi yang memiliki misi pokok untuk mendukung suatu isu publik yang tidak memiliki tujuan komersil atau mencari laba, dan jika suatu entitas menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak dibagikan kepada pihak pemilik entitas tersebut. Dalam organisasi nirlaba tidak ada kepemilikan seperti pada organisasi bisnis, karena kepemilikannya tidak dapat dijual, dialihkan, atau ditebus kembali, sehingga kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi pembagian sumber daya entitas pada saat likuiditas.
Rumah sakit sebagai organisasi nirlaba memiliki peran dalam memberikan jasa pelayanan kesehatan yang profesional dan bermutu serta terjangkau semua lapisan masyarakat, dan memberikan pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan lanjutan sesuai kelas rumah sakit dan standar yang telah ditetapkan. Sehingga, keberadaan rumah sakit merupakan ujung tombak dalam pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tidak sedikit keluhan selama ini diarahkan pada kualitas kinerja pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya sumber daya baik sumber daya finansial maupun sumber daya non finansial.
Dessler dan Gary (1994) menjelaskan bahwa keberhasilan suatu institusi ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu sumber daya manusia atau tenaga kerja dan sarana dan prasarana pendukung atau fasilitas kerja. Dari kedua faktor utama tersebut sumber daya manusia lebih penting daripada sarana dan prasarana pendukung. Secanggih dan selengkap apapun fasilitas pendukung yang dimiliki oleh suatu organisasi, tanpa adanya sumber daya yang memadai baik kualitas maupun kuantitasnya, maka organisasi tersebut tidak dapat berhasil mewujudkan visi, misi, dan tujuan organisasinya. Kualitas sumber daya manusia tersebut diukur dari kinerja karyawan (performance) atau produktifitasnya.
Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan, yaitu lingkungan eksternal dan internal (Hendrawan, 2011). Tuntutan eksternal antara lain adalah dari para stakeholder bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada kepuasan pasien. Tuntutan dari pihak internal antara lain adalah pengendalian biaya. Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu mekanisme pasar, perilaku ekonomis, sumber daya professional dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi.
Rumah sakit pemerintah yang terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut. Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung terus meningkat, dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut. Peningkatan biaya kesehatan menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk kalangan menengah ke bawah. Akibatnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu.
Kinerja rumah sakit merupakan faktor penting yang harus diperhatikan untuk menghadapi tuntutan lingkungan tersebut. Kinerja dalam suatu periode tertentu dapat dijadikan acuan untuk mengukur tingkat keberhasilan organisasi. Oleh karena itu, sistem kinerja yang sesuai dan cocok untuk organisasi sangat diperlukan agar suatu organisasi mampu bersaing dan berkembang.
Kinerja organisasi dapat diketahui melalui pengukuran kinerja organisasi. Pengukuran kinerja adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas: efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa (seberapa baik barang dan jasa diserahkan kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan), hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan dan efektifitas tindakan dalam mencapai tujuan (Robertson, 2002). Sedangkan Stout (1993) dalam Bastian (2001), mendefinisikan pengukuran/penilaian kinerja sebagai proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalan arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun suatu proses.
Menurut Mardiasmo (2009), diperlukan adanya pengukuran kinerja sektor publik untuk memenuhi tiga maksud yaitu (1) pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja dimaksudkan untuk dapat membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi sektor publik dalam pemberian pelayanan publik; (2) ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan; serta (3) ukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. Oleh pihak legislatif, ukuran kinerja digunakan untuk menentukan kelayakan biaya pelayanan (cost of service) yang dibebankan kepada masyarakat pengguna jasa publik. Masyarakat tentu tidak mau terus-menerus ditarik pungutan sementara pelayanan yang mereka terima tidak ada peningkatan kualitas dan kuantitasnya.
Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat, namun hasilnya belum optimal. Menurut Gunawan (2010), faktor yang mempengaruhi rendahnya kualitas pelayanan pemerintah adalah role ambiguity, ketidak tahuan pegawai negeri sipil mengenai apa yang menjadi harapan pimpinan akan pelayanan yang disediakan dan bagaimana cara memenuhi harapan tersebut; poor employee job fit, ketidak sesuaian antara kemampuan yang dimiliki pegawai dengan pekerjaan yang harus dilakukan; poor technology job fit, terlalu minim peralatan serta teknologi yang dipergunakan akan berakibat pelayanan yang diberikan tidak dapat sesuai dengan diharapkan; inappropriate supervisory control system, tidak adanya sistem evaluasi dan penghargaan dalam instansi pemerintah; lack of perceived control, ketidakmampuan pegawai dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam proses pemberian pelayanan yang disebabkan wewenang yang tidak mereka miliki sehingga mereka juga tidak terlatih untuk mengatasi permasalahan
yang muncul dengan lebih baik; lack of team work, tidak adanya kerjasama antara pegawai dan pimpinan organisasi dalam memberikan pelayanan akan berakibat buruk terhadap kinerja yang dihasilkan. Permasalahan juga bisa diakibatkan kurang adanya dukungan pegawai. Penyebab belum optimalnya kinerja organisasi pemerintah yang telah disebutkan diatas umumnya terjadi hampir diberbagai organisasi pemerintah termasuk rumah sakit (Gunawan, 2010).
Pemerintah daerah sebagai pemilik RSUD dan sekaligus manajemen perusahaan, setiap tahun harus mengevaluasi kinerja dan melakukan analisis yang cermat agar dapat mengetahui keberhasilan ataupun kegagalan RSUD sehingga dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk memperbaiki kekurangan–kekurangan yang ada sekaligus membuat strategi yang dapat meningkatkan keberhasilan di masa depan atau sering juga disebut dengan kinerja organisasi. Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi (Mahsun, 2007). Kata kinerja sering dipakai sebagai indikator keberhasilan. Kinerja dapat dinilai seandainya organisasi mempunyai kriteria keberhasilan yang telah dirumuskan. Kriteria keberhasilan berupa pernyataan visi dan misi organisasi yang dijabarkan kedalam tujuan, sasaran, dan program yang diharapkan akan dicapai secara ekonomis, efisien, dan efektif. Tanpa adanya visi dan misi, kinerja organisasi tidak akan dapat diketahui karena tidak ada tolok ukurnya. 
Penelitian Ferdinand (1997) dalam Prasetyono dan Nurul (2007), ditemukan bahwa terdapat tiga kriteria keberhasilan RSU yang dapat digunakan sebagai tolok ukur, (1) mampu tetap bertahan (survival), yaitu kemampuan organisasi untuk mencari alternatif untuk mempelopori bentuk pelayanan kesehatan yang profesional; (2) pertumbuhan (growth), yaitu kemampuan organisasi untuk mengembangkan usahanya bertahan dalam persaingan dan peningkatan mutu pelayanan; (3) keuntungan (profitability), yaitu kemampuan usaha organisasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan para karyawan.
Menurut Atkinson, dkk (1995), sistem penilaian kinerja sebaiknya mengandung indikator kinerja yaitu (1) memperhatikan setiap aktivitas organisasi dan menekankan pada perspektif pelanggan, (2) menilai setiap aktivitas dengan menggunakan alat ukur kinerja yang mengesahkan pelanggan, (3) memperhatikan semua aspek aktivitas kinerja secara komprehensif yang mempengaruhi pelanggan, dan (4) menyediakan informasi berupa umpan balik untuk membantu anggota organisasi mengenai permasalahan dan peluang untuk melakukan perbaikan.
Dari deskripsi di atas, penilaian kinerja pada rumah sakit sebagai organisasi nirlaba tidak hanya berfokus pada pencapaian internal organisasi saja, namun juga mencakup berbagai aspek penting yang perlu banyak mendapat perhatian bagi setiap stakeholder rumah sakit. Tujuan dari paper ini adalah untuk mereview beberapa penelitian tentang studi kinerja rumah sakit sebagai organisasi nirlaba di Indonesia.



2. Pembahasan
Pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor yang amat penting bagi sebuah perusahaan. Pengukuran tersebut, dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perusahaan. Selama ini pengukuran kinerja secara tradisional hanya menitikberatkan pada sisi keuangan. Manajer yang berhasil mencapai tingkat keuntungan yang tinggi akan dinilai berhasil dan memperoleh imbalan yang baik dari perusahaan.      
Untuk mengukur kinerja organisasi, maka diperlukan suatu sistem berbasis kinerja. Sistem pengukuran kinerja yang baik diperlukan sebagai instrumen dalam mengukur kinerja yang handal dan berkualitas. Pengukuran kinerja yang menitikberatkan pada sektor keuangan saja kurang mampu mengukur kinerja harta-harta tidak berwujud (intangible assets) dan harta-harta intelektual (sumber daya manusia) perusahaan. Selain itu pengukuran kinerja dengan cara ini juga kurang mampu bercerita banyak mengenai masa lalu perusahaan, kurang memperhatikan sektor eksternal, serta tidak mampu sepenuhnya menuntun perusahaan ke arah yang lebih baik (Gunawan, 2010).
Hal ini mendorong Kaplan dan Norton (2000) untuk merancang suatu sistem pengukuran kinerja yang lebih komprehensif yang disebut dengan Balanced Scorecard. Konsep Balanced Scorecard merupakan salah satu metode pengukuran kinerja yang berusaha untuk menyeimbangkan pengukuran aspek keuangan dengan aspek non keuangan dengan memasukkan empat aspek/perspektif di dalamnya yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, dan  perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
Saat ini banyak rumah sakit telah mengadopsi sistem kinerja yang multidimensional untuk mendukung dalam pencapaian tujuan dan misinya (Zelman dkk., 2003). Beberapa peneliti dari Michigan University telah mampu menentukan validitas, reliabilitas, dan sensitivitas dari metode Balanced Scorecard yang berorientasi pada pembandingan indikator yang digunakan rumah sakit untuk mengukur kinerjanya dibandingkan dengan kinerja para kompetitornya (Griffith dkk., 2002).
Konseptual Balanced Scorecard tidak hanya mencakup indikator kinerja rumah sakit tetapi juga untuk membantu dalam membandingkan kinerja rumah sakit. Sehingga metode BSC akan bermanfaat untuk mengidentifikasi kesempatan dalam peningkatan kinerja akibat dari adanya hasil pengukuran kinerja yang nilainya masih rendah (Chen dkk., 2006).
Menurut Pramadhany (2011), pada awalnya Balanced Scorecard dirancang untuk digunakan pada organisasi yang bersifat mencari laba, namun kemudian berkembang dan diterapkan pada organisasi nirlaba. Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap penggunaan pada organisasi laba dengan organisasi nirlaba, diantaranya: pada organisasi laba perspektif finansial adalah tujuan utama dari perspektif yang ada, sedangkan pada organisasi nirlaba perspektif konsumen merupakan tujuan utama dari perspektif yang ada. Perspektif finansial dalam organisasi laba adalah berupa finansial atau keuntungan, sedangkan dalam organisasi nirlaba perspektif finansial adalah pertanggungjawaban keuangan mengenai penggunaan sumber daya yang efektif dan efisien dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat.
 Berdasarkan penjelasan tentang pentingnya peran metode Balanced Scorecard dalam mengukur kinerja organisasi, maka beberapa peneliti menggunakan metode tersebut untuk menilai kinerja rumah sakit sebagai organisasi nirlaba. Maskur (2004) mengukur kinerja Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang dengan pendekatan Balanced Scorecard dengan hasil masing-masing pada perspektif keuangan menunjukkan kinerja belum mencapai maksimal, perspektif konsumen menunjukkan kinerja belum mencapai maksimal, perspektif proses bisnis internal menunjukkan kinerja jauh dari skor maksimal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan menunjukkan kinerja belum mencapai maksimal. Namun, secara keseluruhan Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang termasuk dalam kategori bagus walaupun kinerja masing-masing perspektif belum maskimal yaitu mencapai skor 71,3 dari skala hingga 100.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif dari penelitian Maskur (2004), indikator kepuasan konsumen atau pasien atas pelayanan untuk mendapatkan pemeriksaan di Rumah Sakit Dr. Kariadi merasa tidak puas atas suasana ketenangan rumah sakit dan waktu tunggu. Sedangkan pada indikator kepuasan karyawan selama bekerja di Rumah Sakit Dr. Kariadi karyawan merasa tidak puas atas indikator motivasi. Sehingga diperlukan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh manajemen Rumah Sakit Dr. Kariadi untuk memperbaiki indikator ketenangan rumah sakit serta waktu tunggu untuk mendapatkan pemeriksaan dari perpektif konsumen dan perlunya perbaikan terhadap motivasi karyawan oleh manajemen rumah sakit. Hal ini dikarenakan dengan peningkatan motivasi kerja karyawan maka akan meningkatkan kinerja atau produktivitas karyawan dalam melaksanakan tugasnya di Rumah Sakit Dr. Kariadi.
Nany dkk. (2008) juga menerapkan metode Balanced Scorecard sebagai pengukur kinerja manajemen pada rumah sakit umum daerah (RSUD) Indramayu. Hasil pengukuran kinerja manajemen RSUD Indramayu menunjukkan bahwa pada perspektif keuangan menunjukkan bahwa ROI yang digunakan sebagai tolok ukur variabel perspektif keuangan cenderung meningkat, namun pertumbuhan pendapatan cenderung menurun. Penurunan pendapatan yang tidak dengan segera ditangani pada akhirnya akan menurunkan jumlah laba bersih dan ROI. Hasil pengukuran perspektif pelanggan menunjukkan bahwa retensi pasien cenderung menurun dan akuisisi pasien cenderung meningkat, namun para pasien merasa belum puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh RSUD Indramayu. Apabila ketidakpuasan para pasien ini tidak dengan segera ditangani, pada akhirnya jumlah pasien yang berobat, jumlah pendapatan, jumlah laba bersih dan ROI akan menurun. Hasil pengukuran perspektif proses bisnis intern menunjukkan bahwa produktivas dan profit margin cenderung meningkat. Peningkatan produktivitas dan profit margin pada akhirnya akan meningkatkan kinerja keuangan rumah sakit. Hasil pengukuran perspektif pertumbuhan dan pembelajaran menunjukkan bahwa produktivitas karyawan cenderung meningkat, namun retensi karyawan cenderung meningkat pula serta para karyawan merasa belum puas selama bekerja di RSUD Indramayu. Apabila ketidakpuasan para karyawan ini tidak dengan segera ditangani, pada akhirnya jumlah karyawan yang keluar akan meningkat, produktivitas karyawan, kinerja rumah sakit, jumlah pasien, jumlah laba bersih dan ROI akan menurun.
Nany dkk (2008) menyimpulkan dari hasil pengukuran kinerja RSUD Indramayu dengan Balanced Scorecard menunjukkan bahwa kinerja manajemen cenderung meningkat, yang terlihat dari peningkatan ROI, penurunan retensi pasien, peningkatan akuisisi pasien, peningkatan produktivitas, peningkatan profit margin serta peningkatan produktivitas karyawan. Hasil pengukuran kinerja manajemen dengan Balanced Scorecard juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa indikator yang apabila tidak segera ditangani secara serius dapat menjadi ancaman yang serius bagi kinerja manajemen. Indikator-indikator tersebut antara lain adalah penurunan pertumbuhan pendapatan, para pasien belum puas terhadap pelayanan yang diberikan rumah sakit, peningkatan retensi karyawan serta para karyawan belum puas selama bekerja di rumah sakit. Kinerja keuangan yang buruk seringkali merupakan akibat dari kinerja non keuangan yang buruk. Kinerja non keuangan yang buruk seringkali merupakan tanda-tanda awal memburuknya kinerja keuangan.
Pramadhany (2011) menerapkan metode Balanced Scorecard sebagai tolok ukur penilaian kinerja Rumah Sakit Bhayangkara Semarang sebagai organisasi nirlaba karena merupakan rumah sakit milik Polda Jawa Tengah. Untuk penerapan variabel perspektif keuangan, Pramadhany (2011) menggunakan instrumen value for money yang terdiri dari rasio ekonomis, rasio efektivitas, dan rasio efisiensi. Pada variabel perspektif pelanggan, digunakan pengukuran akuisisi pelanggan, retensi pelanggan, dan tingkat kepuasan pelanggan. Perspektif proses bisnis internal, meliputi proses inovasi dan kualitas pelayanan. Untuk tingkat pelayanan diukur dengan menggunakan standar kinerja pelayanan rumah sakit yaitu Bed Occupancy Rate (BOR), Bed Turn Over (BTO), Turn Over Interval (TOI), Average Leangth of Stay (ALOS), Gross Death Rate (GDR), dan net Death Rate (NDR). Pada variabel perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, digunakan tolok ukur retensi karyawan, dan pelatihan karyawan.
Penelitian pada Rumah Sakit Bhayangkan Semarang dilakukan dengan membandingkan antara kinerja internal rumah sakit dengan kinerja menurut Balanced Scorecard dari tahun 2008-2010. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan nilai rata-rata untuk masing-masing perspektif yaitu keuangan, pelanggan, bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan adalah cukup baik. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja Rumah Sakit Bhayangkara Semarang termasuk dalam kriteria cukup baik.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Woro Wijayanti (2010), dalam penelitiannya “Pengukuran Kinerja Dengan Menggunakan Balanced Scorecard Sebagai Alternatif (Studi Pada RSJD Dr Amino Gondohutomo Semarang)” Menyebutkan bahwa dalam perspektif keuangan, tingkat rasio ekonomi dalam 3 tahun terakhir cukup baik karena terdapat selisih antara anggaran belanja yang ditetapkan PEMDA terhadap realisasi anggarannya. Dalam perspektif konsumen, terdapat penurunan pada tingkat kepuasan konsumen yaitu ALOS (Average Length of Stay) tahun 2006 sebesar 23,08 hari menurun menjadi 21 hari di tahun 2007. Penurunan juga terjadi pada tingkat profitabilitas konsumen di tahun 2007. Dalam perspektif proses bisnis internal, kunjungan rawat jalan di tahun 2007 meningkat. Tingkat kunjungan rawat inap yang diukur dari tingkat BOR (Bed Occupancy Rate) , TOI (Turn Over Internal), BTO (Bed Turn Over Rate), GDR (Gross Death rate), dan NDR (Net Death Rate) dinilai baik. Dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan yang diukur melalui tingkat produktifitas mengalami peningkatan, retensi karyawan yang turun, dan tingkat kepuasan karyawan yang belum cukup.
Prasetyono dan Nurul (2007) menganalisa kinerja rumah sakit daerah di Jawa Timur dengan pendekatan Balanced Scorecard berdasarkan komitmen organisasi, pengendalian intern dan penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa kinerja rumah sakit daerah di Jawa Timur berdasarkan balanced scorecard dapat optimal apabila didukung oleh komitmen organisasi baik dari individu, karyawan, maupun manajer dalam rumah sakit daerah dan pengendalian internal yang baik. Dengan adanya pengendalian internal yang baik maka akan dapat direalisasikan good corporate governance. Disamping itu, secara teoritis dikatakan bahwa komitmen mempengaruhi perilaku seseorang dalam mendorong efektivitas organisasi.
Bharata (2011) menerapkan Balanced Scorecard dalam mengukur kinerja Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari tahun 2008-2010. Kinerja Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari tahun 2008-2010 diukur dari perspektif pelanggan sudah baik. Perspektif pelanggan dalam  penelitian  ini  diukur  dengan menggunakan lima indikator yaitu: kepuasan pelanggan, customer retention, customer acquistion, rata-rata pasien rawat jalan dan darurat, dan rata-rata pasien rawat inap. Kinerja Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari tahun 2008-2010 diukur dari perspektif finansial sudah baik. Perspektif finansial dalam  penelitian  ini  diukur  dengan menggunakan sepuluh indikator rasio keuangan   yaitu: return on asset, return on equity, rasio lancar, rasio efisiensi, rasio perputaran aset, rasio perputaran aset tetap, rata-rata umur piutang, rasio belanja terhadap pendapatan, rasio ekuitas terhadap aset, dan rasio kewajiban terhadap aset. Hal  ini  dapat dilihat dari ROA dan ROE yang mempunyai nilai negatif dan berfluktuatif karena RSUD Wonosari pada tahun 2010 sedang membangun poliklinik terpadu dan ruang perawatan. Kinerja Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari tahun 2008-2010 diukur dari perspektif proses bisnis internal sudah baik. Perspektif proses bisnis internal dalam  penelitian  ini  diukur  dengan menggunakan lima  indikator yaitu: kualitas pelayanan, BTO, BOR, TOI, AvLos. Kinerja Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari tahun 2008-2010 diukur dari perspektif pertumbuhan dan pembelajaran sudah baik. Perspektif pertumbuhan dan perkembangan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan lima indikator yaitu: kepuasan pegawai, pelatihan dan pengembangan pegawai, komitmen pegawai, motivasi kerja pegawai, disiplin pegawai.
Penelitian yang dilakukan Putu Wirasata (2010) menguji metode Balanced Scorecard pada RSUD Tg. Uban. Pada variabel keuangan, digunakan tolok ukur neraca, laporan realisasi anggaran, laporan arus kas, dan analisis rasio keuangan untuk mengukur indikator kinerja keuangan rumah sakit berdasarkan pengukuran value for money. Dari hasil pengukuran tolok ukur tersebut menunjukkan hasil kinerja perspektif keuangan yang cukup baik dengan nilai rata-rata sebesar 3,80 dari kesimpulan kinerja keuangan yang sangat efektif (nilai 5), cukup ekonomis (nilai 3), sangat tidak efisien (nilai 1), sangat likuid (nilai 5), dan sangat solven (nilai 5). Untuk perspektif kepuasan pelanggan digunakan tolok ukur aspek wujud fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati. Berdasarkan pengukuran tiap aspek tolok ukur tersebut tingkat kepuasan pelanggan secara keseluruhan dikategorikan cukup baik untuk RSUD Tg. Uban. Perspektif bisnis internal, digunakan tolok ukur aspek sarana dan prasarana rumah sakit, proses, dan kepuasan bekerja. Berdasarkan penilaian terhadap masing-masing aspek tersebut, sebagian besar responden menyatakan cukup puas atas upaya pegawai rumah sakit dalam mendukung tujuan manajemen. Pada variabel perspektif pertumbuhan dan pembelajaran, peneliti menggunakan aspek motivasi (reward and punishment), kesempatan mengembangkan diri, inovasi, dan suasana dalam bekerja. Hasilnya menunjukkan bahwa secara umum pegawai rumah sakit menyatakan setuju atas kebijakan manajemen dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berguna untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang optimal pada masyarakat. Sehingga pengukuran variabel pertumbuhan dan pembelajaran pada RSUD Tg. Uban dikategorikan baik. Dari keseluruhan aspek Balanced Scorecard menunjukkan nilai kinerja tertinggi terletak pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran, dan nilai kinerja terendah pada perspektif kepuasan pelanggan. Sedangkan secara keseluruhan nilai capai akhir kinerja RSUD Tg. Uban termasuk dalam kategori cukup baik.
Sudarti (2011) mengukur kinerja RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung dengan metode Balanced Scorecard. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa RSUD Dr. H. Abdul Moeloek belum mampu menghasilkan surplus yang stabil karena rumah sakit ini merupakan badan layanan umum yang tidak berorientasi pada profit. Pelanggan puas atas pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit. Kinerja proses bisnis internal secara umum dapat dikatakan baik. Retensi pegawai rendah, namun kurang didukung oleh kondisi kerja yang memuaskan dan rendahnya produktivitas.
Penelitian Rasmini dkk. (2009) menilai kinerja Badan Rumah Sakit Umum Tabanan berdasarkan Balanced Scorecard. Badan Rumah Sakit Umum Tabanan merupakan lembaga teknis daerah dengan sistem Badan Layanan Umum (BLUD). Sebagai rumah sakit pemerintah yang dikelola secara sosioekonomis, maka misi sosial menjadi prioritas utama. Namun, dalam pengelolaannya tidak meninggalkan prinsip-prinsip bisnis dalam mengembangkan produk layanan. Penilaian kinerja perspektif keuangan dalam penelitian ini menggunakan pengukuran Value For Money, yaitu mengukur tingkat ekonomi, tingkat efisiensi, dan tingkat efektivitas BRSU Tabanan. Data yang digunakan dalam pengukuran Value For Money adalah anggaran pendapatan, realisasi pendapatan, anggaran belanja, realisasi belanja pada BRSU Tabanan tahun 2004 sampai dengan 2008.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keuangan BRSU Tabanan dari tahun 2004 sampai dengan 2007 sudah ekonomis, sedangkan tahun 2008 tidak ekonomis. Kondisi tersebut terjadi karena realisasi belanja lebih besar dibandingkan dengan anggaran belanja, khususnya pada belanja pegawai pada belanja tidak langsung dan belanja barang dan jasa pada belanja langsung. Ekonomis berkaitan dengan meminimalkan biaya untuk memperoleh sumber daya pada tingkat kualitas tertentu (spending less). Untuk tingkat efisiensi, keuangan BRSU Tabanan belum efisien. Hal itu disebabkan oleh realisasi belanja lebih besar dari pada realisasi pendapatan. Kegiatan operasional dikatakan belum efisien karena hasil (output) tertentu belum dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan dana yang serendah-rendahnya (spending well). Sebaliknya, tingkat efektivitas keuangan BRSU Tabanan tahun 2004 sampai dengan 2008 sudah efektif. Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Kegiatan operasional efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan (spending wisely).
Dalam mengukur variabel kepuasan pelanggan, didapatkan nilai nyata rata-rata kepuasan pelanggan untuk dimensi bukti langsung dengan predikat puas, keandalan dengan predikat puas, daya tanggap dengan predikat sangat puas, jaminan dengan predikat puas, dan empati dengan predikat puas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelayanan BRSU Tabanan dapat memenuhi harapan pasien dan memuaskan mereka karena terpenuhinya kepentingan (importance) dengan kenyataan yang dirasakan (performance). Kualitas pelayanan harus mengacu pada pandangan pelanggan, bukan pada pihak penyedia jasa. Pelanggan layak menentukan pelayanan itu berkualitas atau tidak. Kinerja BRSU Tabanan dari perspektif pelanggan adalah baik.
Pada penilaian kinerja dari perspektif proses bisnis internal pada BRSU Tabanan menunjukkan terjadinya penambahan infrastruktur untuk mendukung operasional BRSU Tabanan sehingga terjadi peningkatan mutu proses atau mutu layanan. Dengan demikian kinerja BRSU Tabanan dari perspektif proses bisnis internal adalah baik. Selain itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa angka kematian umum (GDR) pada BRSU Tabanan tahun 2004 sampai dengan 2008 adalah di bawah 45 persen per tahun. Data tersebut menunjukkan bahwa kualitas pelayanan BRSU Tabanan dari perspektif proses bisnis internal adalah baik. Sesuai dengan standar Departemen Kesehatan RI bahwa angka Gross Death Rate (GDR) maksimal 45 persen per 1.000 pasien per tahun kualitas pelayanan dinilai baik.
Penilaian kinerja dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, pada tahun 2005 mengalami penurunan produktivitas karyawan BRSU Tabanan sebesar 24,36% dari tahun 2004. Pada tahun 2006 kembali mengalami penurunan dari tahun 2005 terjadi penurunan produktivitas 15,78% dan pada tahun 2007 produktivitas karyawan menurun 10,68%. Sebaliknya, pada tahun 2008 terjadi peningkatan produktivitas yang sangat tinggi, untuk aspek kepuasan karyawan pada perspektif pembelajaran dan pertumbuhan menunjukkan nilai nyata rata-rata untuk kelima unsur dimensi, yaitu kerja secara mental, ganjaran, kondisi kerja, rekan kerja, dan kesesuaian dengan kepribadian menunjukkan predikat puas. Ini berarti bahwa para karyawan puas terhadap pekerjaan yang mereka lakukan di BRSU Tabanan.
Sedangkan dalam menanggapi fenomena otonomi daerah tentang pentingnya rumah sakit pemerintah menjadi badan layanan umum (BLU), Mustafa dkk (2009) melakukan penelitian model pengukuran kinerja rumah sakit swasta dan pemerintah dalam era otonomi daerah. Studi ini dilakukan pada rumah sakit tipe C/kelas III di kabupaten Banyumas yaitu dengan objek penelitian RS Islam Purwokerto sebagai rumah sakit swasta dan RSUD Ajibarang sebagai rumah sakit pemerintah yang telah menjadi BLUD. Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbedaan pengukuran Balanced Scorecard pada kedua rumah sakit tersebut sebagai pembanding apakah rumah sakit pemerintah yang menjadi BLUD sudah mampu bersaing dengan rumah sakit swasta dengan tipe rumah sakit yang sama.
Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perspektif keuangan pada rumah sakit pemerintah (RSUD Ajibarang) dan rumah sakit swasta (RS Islam Purwokerto). Kedua kelompok menunjukkan hasil kinerja keuangan rumah sakit swasta lebih baik daripada rumah sakit pemerintah (RSS > RSP) dengan perbedaan rata-rata sebesar 2,957. Pada perspektif pembelajaran dan pertumbuhan kinerja rumah sakit swasta masih lebih baik dari rumah sakit pemerintah (RSS > RSP) dengan perbedaan rata-rata 3,649. Terdapat perbedaan kinerja pada perspektif pelanggan (pasien) pada rumah sakit swasta lebih baik daripada rumah sakit pemerintah (RSS > RSP) dengan perbedaan rata-rata 1,791. Pada perspektif kinerja pelayanan dan administrasi rumah sakit swasta juga lebih baik daripada rumah sakit pemerintah (RSS > RSP) dengan perbedaan rata-rata 2,287.
Dari hasil tersebut dapat diasumsikan bahwa untuk perspektif kinerja proses pelayanan terhadap pelanggan rumah sakit pemerintah (RSUD Ajibarang) sudah mampu bersaing dengan RSS (RS Islam Purwokerto) karena tingkat nilai rata-rata perbedaan yang tidak terlalu jauh dibandingkan dengan nilai pada perspektif yang lain. Akan tetapi, kinerja RSP perlu ditingkatkan agar lebih bersaing dengan RSS dengan mengoptimalkan kemampuan sumber daya manusia yang ada.
Mustafa dan Anton (2009), menggunakan Balanced Scorecard untuk menilai kinerja dan perbandingannya dari delapan rumah sakit yang dijadikan objek penelitian. Delapan rumah sakit tersebut dikelompokan berdasarkan tipe/kelasnya yaitu RS Cilacap, RS Banyumas, dan RS Purworejo sebagai rumah sakit tipe B; dan RS Purbalingga, RS Ajibarang, RS Kebumen, RS Majenang, dan RS Banjarnegara sebagai rumah sakit tipe C.
Pada rumah sakit tipe B, dari hasil penelitian tersebut menunjukkan RSUD Banyumas kinerja pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran lebih baik dibandingkan dengan RSUD Purworejo dan RSUD Cilacap (Banyumas > Purworejo > Cilacap). Terdapat perbedaan dalam perspektif keuangan pada RS  Cilacap, Banyumas, dan Purworejo. Untuk perspektif kinerja keuangan RSUD Purworejo lebih baik dibandingkan RSUD Banyumas dan RSUD Cilacap (Purworejo > Banyumas > Cilacap). Terdapat perbedaan perspektif pelanggan pada RS Cilacap, Banyumas, dan Purworejo. Menunjukkan kinerja RSUD Cilacap dari perspektif pelanggan lebih baik dibandingkan dengan RSUD Purworejo dan RSUD Banyumas (Cilacap > Purworejo > Banyumas). Pada perspektif pelayanan dan administrasi pada RS  Cilacap, Banyumas, dan Purworejo menunjukkan RSUD Cilacap memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan RSUD Banyumas dan RSUD Purworejo (Cilacap > Banyumas > Purworejo).
Pada rumah sakit tipe C, dari hasil penelitian tersebut menunjukkan RSUD Purbalingga kinerja pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran lebih baik dibandingkan dengan RSUD Majenang, RSUD Ajibarang, RSUD Kebumen, dan RSUD Banjarnegara (Purbalingga > Majenang > Ajibarang > Kebumen > Banjarnegara). Untuk perspektif kinerja keuangan RSUD Majenang lebih baik dibandingkan RSUD Purbalingga, RSUD Ajibarang, RSUD Kebumen dan RSUD Banjarnegara (Majenang > Purbalingga > Ajibarang > Kebumen > Banjarnegara). Pada pengukuran kinerja perspektif pelanggan menunjukkan kinerja RSUD Ajibarang dari perspektif pelanggan lebih baik dibandingkan dengan RSUD Kebumen, RSUD Purbalingga, RSUD Majenang, dan RSUD Banjarnegara (Ajibarang > Kebumen > Purbalinggan > Majenang > Banjarnegara). Pada perspektif pelayanan dan administrasi menunjukkan RSUD Ajibarang memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan RSUD Purbalingga, RSUD Kebumen, RSUD Majenang dan RSUD Banjarnegara (Ajibarang > Purbalingga > Kebumen > Majenang > Banjarnegara).

3. Kesimpulan
Rumah sakit pemerintah sebagai organisasi nirlaba telah mengalami dinamisasi perubahan seiring banyaknya tuntutan dari lingkungan eskternal dan internal. Rumah sakit pemerintah yang terdapat di tingkat pusat maupun daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut yang menilai rumah sakit untuk mencapai kinerja yang lebih baik.
            Rumah sakit pemerintah perlu diukur kinerjanya karena pengukuran kinerja dapat digunakan untuk menilai keberhasilan suatu organisasi serta untuk melakukan penyusunan strategi-strategi yang sesuai. Beberapa peneliti mencoba menilai kelayakan kinerja rumah sakit di Indonesia dengan menggunakan metode Balanced Scorecard. Tujuannya adalah agar dapat diketahui dengan pasti apakah pencapaian kinerja yang tidak sesuai disebabkan oleh faktor input yang kurang mendukung atau kegagalan pihak manajamen. Penggunaan metode ini dianggap cukup handal karena selain mampu mengukur aspek internal organisasi juga dapat mengukur aspek hubungan dengan pihak eksternal, serta dapat menilai kinerja yang ekonomis, efisiensi, dan efektif dari sumber data laporan keuangan rumah sakit.
Dari hasil penelitian mengindikasikan hasil penilaian kinerja rumah sakit yang bervariasi pada tiap rumah sakit di Indonesia yaitu masih adanya hasil kinerja yang belum maksimal, sehingga rumah sakit sebagai organisasi milik pemerintah dinilai kinerjanya kurang baik dari hasil pengukuran masing-masing perspektif tersebut. Secara umum, pada perspektif keuangan kinerja rumah sakit dapat diukur dari neraca, laporan realisasi anggaran, laporan arus kas, dan analisis rasio keuangan sebagai tolok ukur sesuai indikator value for money dalam menguji hasil kinerja keuangan yang ekonomis, efisien, dan efektif. Untuk perspektif kinerja kepuasan pelanggan digunakan tolok ukur aspek wujud fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati terhadap pelanggan (pasien rumah sakit). Untuk kinerja perspektif bisnis internal, digunakan aspek sarana dan prasarana rumah sakit, proses, dan kepuasan bekerja. Pada variabel perspektif pertumbuhan dan pembelajaran, peneliti menggunakan aspek motivasi (reward and punishment), kesempatan mengembangkan diri, inovasi, dan suasana dalam bekerja.
Berdasarkan hasil dari pengukuran kinerja rumah sakit yang masih memerlukan perhatian dan aspek perbaikan, rumah sakit pemerintah tampaknya harus didukung oleh birokrasi yang responsif untuk segera melakukan kebijakan perbaikan dalam mengantisipasi perubahan di lapangan untuk meningkatkan kinerja internal rumah sakit. Sehingga rumah sakit sebagai organisasi publik dapat memberikan kepuasan kepada pasiennya; lebih efisien, ekonomis, dan efektif dalam mengelola keuangan rumah sakit; memiliki proses bisnis internal yang baik untuk mencapai kepuasan dalam bekerja; serta pegawai rumah sakit berkesempatan dan berani dalam mengembangkan diri, berinovasi, dan menciptakan budaya organisasi yang baik.




Daftar Pustaka

Atkinson, Anthony A, dkk. 1995. Management Accounting. Second Edition. Prentice Hill. Richard D Irwin, Inc. Pillipines.

Bastian, Indra. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE.

Bharata, Risma W. 2011. “Penerapan Balance Scorecard dalam Mengukur Kinerja Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari Tahun 2008-2010”, Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.

Chen, Xiao Yun., dkk. (2006), “Using the Balanced Scorecard to Measure Chinese and Japanase Hospital Performance”, International Journal of Health Care Quality Assurance, Vol. 19 No. 4. Pp. 339-350.

Dessler, Gary. 1994. Human Resources Management. 6th Edition. Pearson. Upper Saddle River. New Jersey

Griffith, J.R., Alexander, J.A. dan Jelinek, R.C. (2002), “Measuring comparative hospital performance”, Journal of Healthcare Management, Vol. 47 No. 1, pp. 41-57.

Gunawan, Indri. 2010. “Pengaruh Komitmen Organisasi, Budaya Organisasi dan Pengendalian Intern terhadap Penerepan Good Corporate Governance (GCG) serta Dampaknya pada Kinerja Rumah Sakit”, Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman.

Hendrawan, Ronny. 2011. “Analisis Penerapan PSAK No. 45 tentang Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba pada Rumah Sakit Berstatus Badan Layanan Umum”, Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.

Mahsun, Mohamad. 2007. Akuntansi Sektor Publik. Edisi Kedua. Yogyakarta: BPFE.

Mardiasmo. 2009. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: C.V Andi Offset.

Pramadhany, W.E.Y. 2011. “Penerapan Metode Balanced Scorecard sebagai Tolok Ukur Penilaian Kinerja pada Organisasi Nirlaba”, Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.

Prasetyono, Nurul Kompyurini. 2007. “Analisis Kinerja Rumah Sakit Daerah dengan Pendekatan Balanced Scorecard berdasarkan Komitmen Organisasi, Pengendalian Intern, dan Penerapan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance”. Simposium Nasional Akuntansi X Makasar.

Rasmini, Ni Luh Supadmi, Ni Luh Putu H.C. 2009. “Penilaian Kinerja Badan Rumah Sakit Umum Tabanan”, Ejournal, Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.

Robertson, Gordon. (2002). Review Kinerja, Lokakarya Review Kinerja: BPKP dan Excecutive Education.

Maskur. 2004. “Pengukuran Kinerja dengan Pendekatan Balanced Scorecard”, Tesis, Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro.

Mustafa, Anton B.D. 2009. “Model Pengukuran Kinerja Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dalam Era Otonomi Daerah (Studi pada 6 Kabupaten Eks-Karesidenan Banyumas dan Sekitarnya”, Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional, Universitas Jenderal Soedirman.

Mustafa, Icuk R.B. dan Yanuar Nugroho, 2009. “Model Pengukuran Kinerja Rumah Sakit Swasta dan Pemerintah dalam Era Otonomi Daerah”, Penelitian DIPA, Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman.

Nany, Lyna R., Kartika W.H. 2008. “Penerapan Balanced Scorecard sebagai Pengukur Kinerja Manajemen pada Rumah Sakit Umum Daerah Indramayu”, Jurnal Riset Akuntansi dan Keuangan, Vol. 4 No 1, Hal. 48-58.

Wirasata, Putu. 2010. “Analisis Pengukuran Kinerja RSUD Tg. Uban Provinsi Kepulauan Riau dengan Metode Balanced Scorecard”, Tesis, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia.

Zelman, W.N., Pink, G.H. dan Mathias, C.B. (2003), “Use of the balance scorecard in health care”, Journal of Health Care Finance, Vol. 29 No. 4, pp. 1-16.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India